Sabtu, Maret 27, 2010

(part5)
Pernah suatu Maghrib saat iqamah, aku dan temanku Menni hendak pergi ke rumahnya. Ketika itu kami tengah berjalan kearah pagar, dan aku melihat sidia akan ke masjid. Lalu dia berbalik kearahku dan mata kami saling berpandangan beberapa detik. Aku semangat sekali tiap kali teringat hal-hal indah bersamanya. Meskipun hanya aku yang rasa secara sepihak. Sebenarnya aku ingin sekali bisa berkenalan dengannya, tapi tidak tahu bagaimana caranya, jadi aku memikirkan skenario dengan tujuan seolah-olah pertemuan kami dianggap kebetulan. Padahal, aku yang merencanakannya. Memang sih berhasil, tapi yang kulakukan hanya tunduk saja. Tiap kali terdengar adzan ataupun iqamah, aku pasti selalu keluar dan mengintip kearah rumahnya melalui pagarku. Dihalaman depan rumahku dulunya adalah kolam ikan, tapi karena ikannya sudah tiada, jadi kolamnya kering. Nah, dipinggir bekas kolam itu yang terbuat dari tumpukan batalah, kujadikan sebagai tempat pijakan buat mengintip. Saat-saat sebelum iqamah, aku berencana pergi ke warung belakang rumahku, agar saat pulang bisa berpapasan dengan dia. Dan rata-rata skenario yang kurencanakan berhasil. Meskipun kadang-kadang, ada juga yang meleset. Tapi tetap semangat! Karena aku masih bisa mengintipnya dari balik jendela ruang tamuku. Aku tidak berani menampakkan diri, karena malu. Meskipun saat Maghrib ataupun Isya aku selalu menungguinya pulang seraya berpura-pura kunci pagar atau lihat bintang. Tapi kadang-kadang juga bukan dia yang lewat, melainkan teman sekontrakannya. Pernah juga waktu Isya, aku menungguinya dengan gelisah lewat depan rumahku. Awalnya aku duduk-duduk diteras, tapi karena merasa terpanggil untuk mengintip, aku pergi saja kepagarku. Saat itu, tetangga disamping kiri depan rumahku sepertinya akan keluar jalan dengan mobilnya, jadi anaknya yang berusia sepuluh tahun tengah berdiri didepan pagarnya. Aku lalu melihat sepasang kaki berjalan menuju ke arahku, tapi kelihatan remang-remang. Ditambah lagi rimbunan daun asam yang pohonnya didepan pagar rumahku menghalangi pandangan. Aku merasa sidia yang akan ke masjid, jadi aku berlari turun dari atas kolam dan duduk diteras. Aku berpose memangku sebelah kakiku, dan melihatnya tertawa kearah anak tetanggaku dan sidia seakan-akan ingin balik ke arahku tapi ditahannya. Dia hanya balik 130. Kala itu, perasaanku malu campur bahagia, karena aku merasa dia tahu kukecengi. Aku lalu lari masuk ke kamar mandi dan tertawa girang diselubungi perasaan malu. Pokoknya aku malu sekali dan berpikir untuk lebih berhati-hati dalam mengecenginya lagi. Beberapa hari setelah kejadian itupun, temanku Menni memberitahuku kalau sidia pernah melaju pelankan jalan motornya saat lewat depan rumahku dan balik kearah rumahku. Perasaanku benar-benar malu campur senang, tapi lebih cenderung ke malu. Hingga pada suatu hari sepulangnya aku dari kampus, secara tak disengaja aku bertemu dalam satu mobil angkot dengan temanku yang bernama Oz, dia tetanggaan dengan sidia. Jadi kami saling menegur dan bercerita. Lama-kelamaan, aku memberanikan diri bertanya tentang sidia, apakah masih tinggal dikontrakannya sekarang atau tidak. Soalnya aku sudah tidak pernah lihat sidia lagi. Lalu tetanggakupun mengatakan kalau sidia sebenarnya masih ada disitu, Cuma selama ini dia sibuk jadi coass.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar