Sabtu, Maret 27, 2010

(part19)
13 mei 2007, aku barusan tiba dirumah jam enam lewat pada waktu Maghrib. Aku baru pulang dari Malino. Malah saat jalan kaki pulang, aku berharap agar berpapasan dengan kak Faridku. Tapi tidak terkabul. Aku merasa rindu berat pada dia sang terdamba, hingga tiba dirumah. Karena sejak kemarin, aku tidak melihatnya saat-saat keberangkatanku ke Malino. Meskipun aku sudah menungguinya sejak jam enam pagi hingga waktu Dzuhur. Sebab setelah Dzuhur, aku sudah berangkat. Tiba-tiba tidak lama kemudian, aku mendengar deruan motor yang kuanggap kak Farid dan benar. aku berlari ke teras dari kamar mandi tanpa menyadari kelelahanku akibat pulang jalan kaki masuk lorong rumahku. Aku melihat kak Farid berhenti dirumah ujung dan aku mengintipinya terus dari celah-celah pagarku. Sambil bungkuk berdiri...bungkuk berdiri, aku tetap mengintipinya waspada. Sepertinya dia dan kawan-kawannya akan pergi dan saling berkomunikasi dalam dialek Melayu. Aku juga sempat berpikir, seandainya kami berpapasan jalan saat aku pulang tadi. Tapi yah apalah daya dan upaya bagi manusia, kalau Tuhan sudah mengehendaki lain. Pasrah...pasrah...aku hanya bisa pasrah dan berdoa. Aku rasa aku sudah cukup berusaha, meskipun bukan berusaha keras buat kenalan. Karena aku sudah hilang akal mau bagaimana lagi bisa kenalan dengan kekasih pujaanku itu. Kemudian mereka pergi berombongan. Kala perasaan terjamah oleh waktu, saat rencana bertolak belakang dengan Kehendak-Nya, apalah daya manusia bertindak.
Tanggal 14 mei 2007 dari jam tujuh pagi ini aku menungguinya, karena menganggap dia bakal lewat depan rumahku. Tapi dia tak muncul-muncul, hingga pukul delapan lewat duapuluh menit. Kak Farid belum lewat-lewat juga. Merasa putus asa dalam kepasrahan, aku pun masuk. Aku berjalan seolah membawa beban dipundak seberat beton, karena kecewa. Detik diganti menit yang diganti dengan jam pula, aku merenung mempertanyakan perasaan cinta sepihak ini pada diriku sendiri. Aku juga membujuk pikiran, hati, dan raga untuk tidak kompak mencari, menunggu, berlari, dan mencintai kala pangeranku ada maupun tak ada. Aku malah berkali-kali berdebat dengan diriku sendiri untuk meyakinkan perasaanku ini adalah mustahil terwujud. Karena memang tidak mungkin. Tapi semakin berpikir, rasa cinta dan rindu ini semakin menjadi-jadi. Lama aku merenung dan kudengar derungan motor yang kuanggap kak Farid. Aku berlari dan melihatnya lewat depan rumahku. akupun menaiki pinggir kolam dan mengintipnya sembunyi-sembunyi turun dari motornya. Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah...dia masih tinggal disekitarku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar